Selasa, 24 Mei 2011

SUMMERHILL SCHOOL

I. Ringkasan Buku Summerhill School
Buku ini menceritakan kehidupan sekolah yang didirikan oleh Alexander Sutherland Neill pada tahun 1921 di Jerman dan kemudian pindah ke Inggris. Sekolah ini dinamakan Summerhill. Summerhill merupakan sekolah yang menerapkan kebebasan (freedom) dan prinsip swakelola (self-government) kepada anak didiknya. Sekolah yang mengajarkan sebuah cara hidup, hidup bersama orang lain dalam sebuah masyarakat dan mengekspresikan diri dengan segenap kecintaan kita pada kasih sayang, ilmu pengetahuan, dan karya. Summerhill school akan mengajarkan kepada kita untuk mengasuh anak agar menjadi generasi yang bebas, bertanggung jawab, dan menjadi diri sendiri. Alexander Sutherland Neill mempunyai visi bahwa pada dasarnya tidak ada anak yang jahat. Yang ada adalah para orangtua bermasalah, guru-guru bermasalah, dan sekolah-sekolah bermasalah yang semuanya melahirkan anak-anak bermasalah. Sehingga di sekolah Summerhill, Neill memberikan anak-anak iklim kebebasan sekaligus tanggung untuk mengatur diri mereka sendiri, asalkan tidak mengganggu orang lain. Guru hanya bertugas untuk mengawasi anak-anak dari sesuatu yang berbahaya. Disinilah anak-anak belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan kesulitan-kesulitannya sendiri dalam kelompok sebaya.
Summerhill School dikenal luas pada 1930-an di Inggris. Selain menjadi kepala sekolah di Summerhill, Neill menjadi pembicara di setiap tempat dan dia berhasil menanamkan pengaruh yang mendalam bagi banyak guru serta orangtua. Hal tersebut yang membuat Summerhill luar biasa terkenal dan mempengaruhi pembuatan peraturan-perturan baru di sekolah. Summerhill tidak hanya menjadi tempat pendidikan, tetapi juga seperti surga bagi anak-anak. Mereka yang belajar disini tidak akan terkekang oleh pendidikan dan tidak akan merasa kehilangan masa-masa yang indah ketika mereka anak-anak kemudian memasuki usia remaja. Di sekolah ini sangat membebaskan muridnya. Prinsip swakelola bagi para siswa dan staf, bebas untuk bermain selama berhari-hari atau berminggu-minggu atau bertahun-tahun bila perlu, bebas dari indoktrinasi agama atau moral atau politik, bebas dari pembentukan karakter.
Summerhill sangat identik dengan dua kata yaitu anak-anak. Sebagian anak yang bersekolah di Summerhill berusia lima tahun dan sebagian lagi paling tua berumur dua belas tahun. Pada umumnya mereka tinggal di sekolah ini sampai umur enam belas tahun. Anak-anak dikelompokkan menurut usia mereka dengan satu orang wali asrama untuk setiap kelompok. Anak-anak yang berusia muda tidur di sebuah gedung, sedangkan asrama untuk anak-anak yang lebih tua berupa pondok-pondok. Mereka tidak diawasi dan tidak ditunggui. Mereka dibiarkan bebas begitu saja.
Ide pokok pendirian sekolah ini adalah “membuat sekolah ini cocok dengan anak-anak”, bukannya membuat anak-anak cocok dengan sekolah. Dengan gagasan yang demikian maka terbentuklah Summerhill School yang membebaskan muridnya melakukan apa saja menjadi diri mereka sendiri. Maka dari itu, di sekolah ini tidak ada yang namanya ketertiban, arahan, anjuran, pengajaran moral, dan semua pengajaran agama. Yang dibutuhkan di sekolah ini hanyalah sebuah keyakinan. Neill dan para staf sekolah sangat yakin bahwa anak-anak bukanlah makhluk yang jahat. Menurut Neill, masing-masing anak memiliki sifat bawaan bijaksana dan realistis. Selama diberi kebebasan dan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengaruh dari orang dewasa, anak akan berkembang dengan sendirinya sejauh kemampuannya.
Fasilitas di Sekolah Summerhill sangat lengkap, ada kolam renang, bengkel kerja, laboraturium, ruang kesenian, ruang teater, alat musik, perpustakaan, ladang dan sebagainya. Fasilitas ini bebas digunakan oleh para siswa Summerhill baik siswa Junior maupun Senior. Pendidikan di summerhill sangat sederhana tapi juga sangat menyenangkan. Pertama-tama, pelajaran-pelajarannya dipilih secara bebas oleh anak. Anak-anak boleh mengikuti pelajaran-pelajaran itu atau boleh tak mengikutinya selama dia suka. Jadwal pelajaran tetap ada, tapi itu hanya berlaku untuk guru. Kelas dibentuk berdasarkan usia dan bahkan minat. Tidak ada perbedaan berarti untuk penggunaan metode pengajaran khusus maupun biasa pada suatu mata pelajaran. Hanya anak-anak yang mempunyai minat saja yang akan mempelajarinya apapun metodenya.
Pada umumnya, jika anak-anak usia TK sekolah di Summerhill mereka akan rajin mengikuti pelajaran sejak awal kehadiran mereka disini. Berbeda dengan anak usia tua yang pindah ke sekolah ini. Mereka cenderung mangkir dari suatu pelajaran. Hal ini terjadi karena trauma yang ditanamkan sekolah mereka sebelumnya ke dalam diri mereka. Disini mereka hanya bermain-main an melakukan aktivitas sewajarnya, tetapi menghindari pelajaran. Perilaku mereka ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Akan tetapi, rata-rata masa penyembuhan dari kebencian terhadap pelajaran tak sampai tiga tahun.
Di Summerhill tidak ada ujian kelas. Test diadakan hanya untuk iseng belaka, seperti : “Di manakah : Madrid, Pulau Kamis, kemarin, cinta, demokrasi, kebencian, obeng saku saya?” (sehingga tak perlu ada jawabannya).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak serius, akan tetapi membuat anak-anak senang. Jika anak yang baru pindah ke sekolah ini mungkin akan bingung dengan test yang demikian, karena mereka terbiasa dihadapkan situasi serius. Pengajaran macam ini berlangsung diseluruh kelas, sehingga ketika guru tidak dapat masuk kelas untuk mengajr hari itu, anak-anak akan kecewa.
Neil dan para staf Summerhill School sangat membenci segala macam ujian karena bagi mereka, ujian masuk universitas itu hukumnya haram. Namun, Neil tidak bisa mengelak untuk tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran yang akan diujikan itu. Maka, selama ujian tersebut tetap diadakan, ujian tersebut menjadi acuan bagi Summerhill School. Bagi siswa yang ingin mengambil ujian masuk universitas, para staf Summerhill akan mengajarkan pelajaran-pelajaran tersebut. Para siswa yang berumur 13 tahun mulai serius untuk mempelajari materinya selama tiga tahun.
Tidak ada perbedaan antara staf dan anak-anak. Anak-anak dapat memanggil guru mereka hanya dengan sebutan nama depannya saja tanpa “pak” ataupun “bu”. Staf dan anak-anak mengambil sarapan yang sama pukul 08.15-08.45 dari sebuah palka di sebelah pintu dapur, terus menuju ruang makan. Ketika jam pelajaran akan dimulai pada pukul 09:30 anak-anak harus mengambil keputusan untuk mengikutinya atau tidak. Setelah pelajaran berakhir mereka bebas melakukan apapun yang mereka suka, seperti berkebun, melukis, bertukang, dan sebagainya. Karena tidak adanya gap diantara guru dengan murid maka terbentuklah anak-anak yang tak kenal rasa takut. Anak-anak yang demikian akan lebih mudah berkomunikasi dengan orang yang belum mereka kenal.
Tugas anak adalah melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri, bukan kehidupan yang, menurut orangtuanya yang cemas, mesti dia jalani, bukan pula kehidupan yang sesuai dengan tujuan ahli pendidikan yang merasa tahu apa yang terbaik bagi anak. Semua campur tangan dan petunjuk orang dewasa ini hanya menghasilkan generasi robot.
Summerhill merupakan sekolah swakelola, sekolah yang demokratis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bersama maupun kelompok diputuskan melalui voting yang digelar dalam Rapat Umum pada malam minggu. Setiap orang memiliki satu hak suara, berapapun usianya. Bahkan hak suara yang dimiliki oleh Neill sama dengan hak suara murid usia tujuh tahun. Orang yang mendengarkan ini mungkin tidak akan percaya. Namun dalam beberapa kasus, Neill pernah kalah pendapatnya oleh suara mayoritas. Praktik swakelola Summerhill tak kenal birokrasi. Setiap Rapat Umum dipimpin oleh satu orang secara bergiliran, dan jabatan sekretaris ditawarkan secara sukarela.
Warga Summerhill sangat mengutamakan demokrasi dan mereka mematuhi segala keputusannya. Semua orang mendapatkan hak dan kewajibannya, tidak pandang berapa usianya. Tidak semua urusan sekolah dijalankan dengan prinsip swakelola, sebab kebebasan itu ada batasannya. Misalkan untuk perihal staf baru yang diangkat maupun yang diberhentikan, menu masakan yang akan dimakan setiap harinya, buku teks yang digunakan, peralatan sekolah, dan sebagainya.
Praktik swakelola bagi anak-anak berlaku untuk kehidupan komunal mereka; mereka dapat mengatakan apa yang ingin mereka katakan, mengajukan usul dalam rapat, dan mereka tak perlu menunggu usul staf sekolah terlebih dahulu. Dalam praktik swakelola, para staf sekolah tak boleh memberi pengarahan; mereka harus menempatkan diri di luar praktik itu. Ketika seoarang anak didakwa telah melanggar peraturan, Neill tak pernah membolehkan staf melakukan pungutan suara untuk menjatuhkan denda atau tidak. Setiap kali akan Rapat Umum, dipilihlah seorang pemimpin rapat yang bertugas hanya untuk sekali rapat. Pada akhir pekan, diselenggarakan Pengadilan Umum, komunitas akan memilih pemimpin rapat berikutnya, dan begitu seterusnya. Siapapun boleh mengutarakan keluhan, tuduhan, atau saran, atau mengusulkan peraturan baru. Fungsi praktik swakelola Summerhill bukan sekadar untuk merumuskan peraturan-peraturan, melainkan juga untuk membicarakan aspek-aspek sosial komunitas.
Meskipun hasil Rapat Umum diterima oleh terdakwa, namun mereka tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda sikap membangkang atau membenci kepada pemegang otoritas komunitas. Jika terdakwa tidak terima atas putusan Rapat Umum, si terdakwa bisa naik banding., yakni pemimpin rapat membicarakan lagi kasusnya di penghujung rapat. Pengadilan banding ini akan membahas kasusnya lebih saksama. Anak-anak disini sadar bahwa jika terdakwa merasa dijatuhi hukuman yang tidak adil, babak berikutnya meprupakan kesempatan yang bagus untuk menyidang terdakwa secara benar-benar adil.
Pada dasarnya Summerhill lebih mengutamakan kebebasan anak. Karena setiap anak yang lahir memiliki potensi yang berbeda-beda. Masa anak-anak adalah masa aktif yang secara tidak langsung ikut menyumbangkan pembentukan karakternya dimasa mendatang. Neill percaya bahwa kebebasan pada anak-anak akan menciptakan kepribadian yang jujur, tangguh, dan percaya diri. Sebab anak-anak itu tidak pernah merasa kehilangan masa kanak-kanak mereka dan mereka tahu bahwa semua orang memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Di summerhill, pacaran tidak dianjurkan tetapi juga tidak diharamkan. Akan tetapi, Neil melarang anak-anak untuk berhubungan seks sebelum mereka menikah karena meski Summerhill School merupakan sekolah yang mengutamakan kebebasan akan tetapi Summerhill Scholl bukan merupakan sekolah dengan peradaban yang bebas. Menurut pandangan Neil seks itu bukan dosa, tidak jelek dan tidak kotor, karena itu Neil tidak memandang seks dari sisi moral.
Mekipun Summerhill School merupakan sekolah menerapkan kebebasan dan prinsip swakelola kepada anak didiknya, akan tetapi Summerhill School telah meluluskan banyak alumni yang sukses secara psikologis, ekonomis, akademis, sosiokultural, politis. Mereka menjadi insinyur, dokter, dosen, pemusik, pengusaha, mekanis, koki, dan segala macam profesi yang berpikiran maju dan terbuka, jujur, tekun, optimis dan bahagia. Summerhill School telah dan terus melahirkan insan-insan yang berjuang membangun peradaban dunia yang lebih manusiawi dan damai.

II. Kelebihan dan Kekurangan buku Summerhill School
A. Kelebihannya:
1. Dari segi penulisan, buku Summerhill school mudah dipahami baik dari kalimat maupun bahasa yang digunakan.
2. Dari segi isi, buku Summerhill school menyadarkan kita sebagai pembaca untuk berfikir ulang tentang pendekatan yang selama ini kita terapkan dalam mengasuh anak dan akan diterapkan sebagai seorang pendidik agar anak didik yang akan kita ajar tidak tertekan dan putus asa.
3. Buku Summerhill school mengajarkan kita cara yang paling tepat untuk menghapus semua kebencian, semua peperangan yang bersumber dari ketidakbahagiaan.
4. Buku Summerhill school ini menyadarkan kita sebagai pembaca bahwa mempelajari dan mengetahui secara pasti standar-standar pendidikan memang mutlak diperlukan, akan tetapi menerapkan standar-standar tersebut dengan cara yang berbeda, yang lebih menyentuh sisi personal dari setiap peserta didik itu yang paling penting.
5. Kelebihan Summerhill school adalah bahwa anak-anak di sini bebas dan sehat karena kehidupan mereka tidak terkotori oleh rasa takut dan benci. Berbeda sekali dengan sekolah yang pada umumnya hanya menyuruh anak-anak untuk tertib mengikuti pelajaran. Padahal anak-anak dimasa usia sekolah adalah anak-anak yang aktif, tetapi mereka terikat oleh suatu peraturan yang mengakibatkan daya kreatifitasnya mati.
6. Summerhill school ini mengajarkan kita tentang demokrasi yang sebenarnya meski hanya dilakukan di Sekolah.

B. Kekurangan:
1. Pendekatan yang ada di buku Summerhill school ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena di Indonesia sudah ada ketentuan-ketentuan yang telah berlaku sejak dahulu dan sulit untuk dirubah terutama Ujian Nasional yang menjadi momok (inti) kelulusan seorang anak yang berjuang selama bertahun-tahun dalam dunia pendidikan yang terkekang.
2. Dalam buku Summerhill school ini ada inti kalimat yang menyatakan “Anak-anak dapat memanggil guru mereka hanya dengan sebutan nama depannya saja tanpa “pak” ataupun “bu”.” Hal ini sangat bertentangan dengan budaya Indonesia yang sangat menjunjung sopan santun “orang yang lebih muda menghormati orang yang lebih tua” terutama bagi masyarakat Jawa. Jika seorang anak memanggil guru tanpa sebutan “pak” ataupun “bu” berarti anak tersebut tidak menghormati guru mereka dan bagi guru di Indonesia nilai sopan santun mereka kurang.
3. Summerhill school merupakan tempat yang dapat menyembuhkan ketidakbahagiaan dengan cara membebaskan anak didik Summerhill school sebebas-bebasnya asalkan tidak mengganggu orang lain, sehingga meski ada anak didik Summerhill school dibawah umur yang merokok di dalam lingkungan Summerhill school, atau berkata kasar (jorok) tidak akan mendapatkan hukuman.
4. Suara Kepala Sekolah sama dengan suara anak umur tujuh tahun dan suara mayoritas menentukan segalanya dalam rapat umum mingguan di Summerhill school meskipun bahasan atau masalah yang diadukan pada rapat mingguan di Summerhill school penting untuk mereka akan tetapi jika suara matoritas tidak memihak pada si pengusul masalah meskipun dia seorang Kepala Sekolah maka masalah itu akan selesai sesuai dengan suara mayoritas, contoh masalah merokok untuk usia dibawah umur dan suara mayoritas menyatakan tidak setuju jika rokok untuk usia dibawah umur dilarang maka masalah merokok dibawah umur selesai dengan tidak ada larangan bagi anak yang usianya dibawah umur untuk merokok padahal merokok dibawah umur berdampak pada kesehatan mereka suatu hari nanti.
5. Kebebasan dalam Summerhill school yang paling terlihat adalah jika seorang anak yang tidak mau mengikuti pelajaran dan hanya ingin bermain-main maka anak tersebut akan terus bermain berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga anak tersebut akan tertinggal dari anak yang lain dalam hal pendidikan, meskipun dalam buku Summerhill school menyebutkan maksimal seorang anak didik di Summerhill school bermain-main tanpa peduli dengan pendidikan yaitu tiga tahun.

III. Nilai yang Terkandung dalam Buku Summerhill School
Nilai yang terkandung dalam buku Summerhill school yaitu sebagai berikut:
1. Buku Summerhill school mengajarkan kita sebagai pembaca untuk mengetahui cara yang dapat menyembuhkan ketidakbahagiaan anak-anak sehingga semua kejahatan, kebencian dan peperangan yang bersumber dari ketidakbahagiaan dapat dihapus dari memori anak.
2. Buku Summerhill school ini mengajarkan kita tentang demokrasi yang sebenarnya meski hanya dilakukan pada ruang lingkup yang kecil yaitu di Sekolah.
3. Buku Summerhill school mengajarkan kita cara agar anak dapat berpikir maju dan terbuka, bertanggung jawab, jujur, tekun, optimis dan bahagia. Sehingga anak dapat meraih cita-cita sesuai dengan keinginan, kemampuan dan potensi yang anak miliki.
4. Buku Summerhill school menyadarkan kita sebagai pembaca bahwa mempelajari dan mengetahui secara pasti standar-standar pendidikan memang mutlak diperlukan, akan tetapi menerapkan standar-standar tersebut dengan cara yang berbeda, yang lebih menyentuh sisi personal dari setiap peserta didik itu yang paling penting.
5. Buku Summerhill school ini menyadakan kita untuk mengkaji ulang pendekatan yang selama ini kita terapkan pada pendidikan, apakah kita selaku pendidik sudah melakukan pendekatan yang sesuai atau belum.
6. Buku Summerhill school mengajarkan kita tentang membebaskan anak dalam batasan yang wajar agar mereka dapat mengembangkan kreatifitas dan potensi yang mereka miliki dan jangan terlalu mengekang mereka karena hal ini dapat membuat anak stress dan bahkan dapat meningkatkan jumlah kematian menjadi bertambah karena bunuh diri.
7. Summerhill school mengajarkan tentang kebebasan akan tetapi tidak membebaskan para anak didiknya untuk melakukan seks diluar nikah, bukan karena moral akan tetapi Summerhill school tidak mengajarkan peradaban yang bebas dan masa depan yang akan dipikul oleh anak didiknya kelak. Baik buruk masa depan akan dipikul oleh anak didik itu sendiri, akan tetapi Summerhill school hanya meminimalisasikan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada anak didiknya terutama hamil diluar nikah.

IV. Hubungan Buku Summerhill school dengan Sosiologi/Antropologi Pendidikan
Buku Summerhill school ini mengajarkan kita untuk dapat membuat anak bersosialisasi dengan sesama baik sesama teman (umur, agama, budaya dan status derajat) maupun dengan yang lebih muda. Tidak ada perbedaan, tidak ada penindasan yang tua terhadap yang lebih muda, dan yang paling penting yaitu tidak ada gap antara yang satu dengan yang lain terutama guru dengan anak didiknya.

Pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Division)

A. Pengertian STAD
Student Teams Achievement Division merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif dalam kelas, STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif.
Menurut Slavin (pembelajaran kooperatif model STAD, siswa dikelompokkan dalam kelompok belajar yang beranggotakan empat atau lima orang siswa yang merupakan campuran dari kemampuan akademik yang berbeda,sehingga setiap kelompok terdapat siswa yang berprestasi tinggi, sedang dan rendah.
Jadi, model kooperatif tipe STAD merupakan pendekatan yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotifasi dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.

B. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD
Menurut salvin mengemukakan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah :
1. Guru menyampaikan materi pelajaran
Tujuan utama dari pengajaran ini adalah guru menyajikan materi pelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Setiap awal dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan penyajian kelas. Penyajian tersebut mencakup pembukaan, pengembangan dan latihan terbimbing dari keseluruhan pelajaran dengan penekanan dalam penyajian materi pelajaran.
a. Pembukaan
• Menyampaikan pada siswa apa yang hendak mereka pelajari dan mengapa hal itu penting. Timbulkan rasa ingin tahu siswa dengan demonstrasi yang menimbulkan teka-teki, masalah kehidupan nyata, atau cara lain.
• Guru dapat menyuruh siswa bekerja dalam kelompok untuk menemukan konsep atau merangsang keinginan mereka pada pelajaran tersebut.
• Ulangi secara singkat ketrampilan atau informasi yang merupakan syarat mutlak.
b. Pengembangan
• Kembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok.
• Pembelajaran kooperatif menekankan, bahwa belajar adalah memahami makna bukan hapalan.
• Mengontrol pemahaman siswa sesering mungkin dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.
• Memberi penjelasan mengapa jawaban pertanyaan tersebut benar atau salah.
• Beralih pada konsep yang lain jika siswa telah memahami pokok masalahnya.
c. Latihan Terbimbing
• Menyuruh semua siswa mengerjakan soal atas pertanyaan yang diberikan.
• Memanggil siswa secara acak untuk menjawab atau menyelesaikan soal.
• Pemberian tugas kelas tidak boleh menyita waktu yang terlalu lama. Sebaiknya siswa mengerjakan satu atau dua masalah (soal) dan langsung diberikan umpan balik.
2. Guru membentuk beberapa kelompok,setiap kelompok terdiri dari empat sampai lima orang siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda
3. Bahan atau materi yang telah dipersiapkan didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar
Selama belajar kelompok, tugas anggota kelompok adalah menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Siswa diberi lembar kegiatan yang dapat digunakan untuk melatih ketrampilan yang sedang diajarkan untuk mengevaluasi diri mereka dan teman satu kelompok.
Pada saat pertama kali guru menggunakan pembelajaran kooperatif, guru juga perlu memberikan bantuan dengan cara menjelaskan perintah, mereview konsep atau menjawab pertanyaan.
Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan guru sebagai berikut :
a. Mintalah anggota kelompok memindahkan meja / bangku mereka bersama-sama dan pindah kemeja kelompok.
b. Berilah waktu lebih kurang 10 menit untuk memilih nama kelompok.
c. Bagikan lembar kegiatan siswa.
d. Serahkan pada siswa untuk bekerja sama dalam pasangan, bertiga atau satu kelompok utuh, tergantung pada tujuan yang sedang dipelajari. Jika mereka mengerjakan soal, masing-masing siswa harus mengerjakan soal sendiri dan kemudian dicocokkan dengan temannya. Jika salah satu tidak dapat mengerjakan suatu pertanyaan, teman satu kelompok bertanggung jawab menjelaskannya. Jika siswa mengerjakan dengan jawaban pendek, maka mereka lebih sering bertanya dan kemudian antara teman saling bergantian memegang lembar kegiatan dan berusaha menjawab pertanyaan itu.
e. Tekankan pada siswa bahwa mereka belum selesai belajar sampai mereka yakin teman-teman satu kelompok dapat mencapai nilai sampai 100 pada kuis. Pastikan siswa mengerti bahwa lembar kegiatan tersebut untuk belajar tidak hanya untuk diisi dan diserahkan. Jadi penting bagi siswa mempunyai lembar kegiatan untuk mengecek diri mereka dan teman-teman sekelompok mereka pada saat mereka belajar. Ingatkan siswa jika mereka mempunyai pertanyaan, mereka seharusnya menanyakan teman sekelompoknya sebelum bertanya guru.
4. Guru memfasilitasi siwa dalam bentuk rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada pada materi pelajaran yang telah dipelajari
Sementara siswa bekerja dalam kelompok, guru berkeliling dalam kelas. Guru sebaiknya memuji kelompok yang semua anggotanya bekerja dengan baik, yang anggotanya duduk dalam kelompoknya untuk mendengarkan bagaimana anggota yang lain bekerja dan sebagainya.
5. Guru memberikan tes /kuis kepada siswa secara individu
Kuis dikerjakan siswa secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh siswa selama belajar dalam kelompok. Hasil kuis digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan dalam nilai perkembangan kelompok.
6. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai hasil belajar individu dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah menghitung nilai kelompok dan nilai perkembangan individu dan memberi sertifikat atau penghargaan kelompok yang lain. Pemberian penghargaan kelompok berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya.

C. Kelebihan dan Kekurangan pembelajaran Tipe STAD
Kelebihan model pembelajaran Kooperatif STAD Menurut Davidson, yaitu:
1. Meningkatkan kecakapan individu
2. Meningkatkan kecakapan kelompok
3. Meningkatkan komitmen
4. Menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebaya
5. Tidak bersifat kompetitif
6. Tidak memiliki rasa dendam
Kekurangan model pembelajaran kooperatif STAD menurut Slavin, yaitu:
1. Konstribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang
2. Siswa berprestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan karena peran anggota yang pandai lebih dominan.

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pada hakekatnya pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia yaitu belajar berkomunikasi dalam upaya meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis serta untuk mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dalam segala fungsinya yaitu sebagai sarana berpikir atau bernalar. Di lembaga pendidikan yang bersifat formal seperti sekolah, keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari hasil belajar siswa dalam prestasi belajarnya. Kualitas dan keberhasilan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru memilih dan menggunakan metode pengajaran.
Kenyataan di lapangan, khususnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, kegiatan pembelajarannya masih dilakukan secara klasikal. Pembelajaran lebih ditekankan pada model yang banyak diwarnai dengan ceramah dan bersifat guru sentris. Hal ini mengakibatkan siswa kurang terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan siswa hanya duduk, diam, dengar, catat dan hafal. Kegiatan ini mengakibatkan siswa kurang ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran yang cenderung menjadikan mereka cepat bosan dan malas belajar.
Melihat kondisi demikian, maka perlu adanya alternatif pembelajaran yang berorientasi pada bagaimana siswa belajar menemukan sendiri informasi, menghubungkan topik yang sudah dipelajari dan yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat berinteraksi multi arah baik bersama guru maupun selama siswa dalam suasana yang menyenangkan dan bersahabat.

A. Pembelajaran Bahasa Indonesia Tiap Jenjang Pendidikan
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam memelajari semua bidang studi. Menyadari peran yang demikian, pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu siswa mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartsipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya (Depdiknas, 2006:317). Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan masyarakat Indonesia (Depdiknas, 2006:231).
1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidahiyah (SD/MI)
Dalam kebijakan pendidikaan kita, Bahasa Indonesia diajarkan sejak anak berada di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidahiyah. Hal ini disebabkan pengajaran tersebut dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD/MI. Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan dan tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia.
Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis padahal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia seharusnya mencakup 4 keterampilan, yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Penulis menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.
2. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs)
Setelah lulus SD/MI dan melanjutkan ke SMP/MTs, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Ulat pun masih menjadi kepompong. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD/MI ternyata masih dijumpai di SMP/MTs. Bahkan ironisnya, belajar menulis sambung yang mati-matian diajarkan dahulu ternyata hanya sebatas sampai SD/MI saja. Pada saat SMP/MTs penggunaan huruf sambung seakan-akan haram hukumnya, karena banyak guru dari berbagai mata pelajaran yang mengharuskan muridnya untuk selalu menggunakan huruf cetak.
Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis (mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Siswa seharusnya telah dilatih untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek, puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa. Empat keterampilan yang ditulis dalam Standar Kompetensipun sudah tidak berlaku. Seperti halnya membaca dan menulis, berbicara bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD sudah tercampur dengan bahasa daerah atau bahasa Ibu bahkan bahasa gaul yang diikuti saat mereka mendengar dan kemudian menirukannya.
3. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyyah atau Kejuruan (SMA, MA, SMK atau STM)
Beranjak ke tingkat SMA, MA atau SMK ternyata proses pembelajaran Bahasa Indonesiapun masih tidak sesuai harapan. Sang ulat kini hanya menjadi kepompong besar bukan menjadi sebuah kupu-kupu. Kecuali dengan ditambahnya bobot sastra dalam pelajaran bahasa indonesia, materi yang diajarkan juga tidak jauh-jauh dari imbuhan, masalah ejaan, subjek-predikat, gaya bahasa, kohesi dan koherensi paragraf, peribahasa, serta pola kalimat yang sudah pernah diterima di tingkat pendidikan sebelumnya. Perasaan akan pelajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan siswa begitu monoton, kurang hidup, dan cenderung jatuh pada pola-pola hafalan masih terasa dalam proses KBM.
Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat membaca, mendengar, menulis maupun berbicara sebagai wujud minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia yang semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan empat keterampilan berbahasa sukses diterapkan sejak SMP atau MTs maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi, maupun eksposisi yang diperlihatkan. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek mendengar, membaca, menulis, dan berbicara dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan jauh lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis maupun tidak tertulis seperti berbicara di hadapan banyak orang, tanpa beban dan tanpa perasaan takut salah.
Setelah melihat pada ketiga tingkatan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tersebut ada beberapa kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum sepenuhnya menekankan pada empat kemampuan bahasa, namun lebih pada penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

B. Komponen Kurikulum Bahasa Indonesia
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, sosial, dan budaya memberikan dampak bagi dunia pendidikan. Kurikulum sebagai pedoman pendidikan harus merespons segala perkembangan tersebut. Kebutuhan siswa, tuntutan masyarakat, dan globalisasi menuntut adanya perubahan kurikulum pendidikan di negara kita.
Pembelajaran Bahasa Indonesia seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan program untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu:
1) Sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa
2) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
3) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
4) Sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah
5) Sarana pengembangan penalaran
6) Sarana pemahaman beraneka ragam budaya Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia.
Tujuan pengajaran Bahasa Indonesia yaitu;
a) Siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara;
b) Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam keperluan dan keadaan;
c) Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual , kematangan emosional dan sosial;
d) Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis);
e) Siswa mampu menikmati, menghayati, memahami dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
f) Siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan oleh siswa yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Standar kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan untuk suatu pelajaran. Kompetensi dasar adalah kemampuan minimal yang harus dicapai siswa. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah proses pembelajaran. Indikator merupakan rincian hasil belajar dan yang menjawab pertanyaan” Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa peserta didik sudah dapat mencapai hasil pembelajarannya.”

C. Kompetensi dan Indikator Pembelajaran Bahasa Indonesia
Prinsip pembelajaran bahasa Indonesia tidak bertujuan untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa, tetapi siswa memiliki kemampuan berbahasa untuk pelbagai keperluan komunikasi. Kemampuan berbahasa yang dimaksud adalah kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Di dalam kurikulum baik di SD, SMP ataupun di SMU, kemampuan tersebut dirumuskan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar Kemampuan tersebut di dalam pembelajaran dilaksanakan secara terpadu dan saling menunjang satu dengan yang lainnya. Dari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan di setiap jenjangnya dapat dilihat hasil belajar yang diharapkan setelah proses pembelajaran. Hasil belajar tersebut dirinci kembali menjadi indikator-indikator pembelajaran.
Aspek pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terdiri atas:
• Kemampuan berbahasa Indonesia yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis,
• Bersastra baik sastra lisan maupun sastra tulis.
Kedua aspek ini (berbahasa dan bersastra) tidak memiliki perbedaan di dalam pelaksanaan. Materi yang berupa sastra lisan dipelajari dengan cara mengapresiasinya secara lisan yaitu didengarkan dan dibicarakan atau dibahas secara lisan dan tertulis. Materi yang berupa sastra tulis diapresiasi dengan cara dibaca dan dibahas secara tertulis atau secara lisan. Dengan demikian pada hakikatnya belajar bahasa Indonesia adalah belajar berkomunikasi, mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, pengalaman, dan pendapat secara lisan dan tertulis.
Jabaran dari kompetensi berbentuk indikator-indikator. Perbedaan antara indikator dan kompetensi dasar terletak pada luasnya cakupan isi atau muatan. Cakupan muatan indikator lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi dasar. Sebab, indikator merupakan rincian dari kompetensi dasar.
Untuk mengukur seberapa jauh siswa dapat mencapai indikator materi pembelajaran tertentu digunakan alat evaluasi. Alat evaluasi dapat berupa tes, pemberian tugas, atau ulangan harian. Tes atau tugas dapat berupa tes teori atau pun praktek. Dengan adanya pemberuan dalam bidang pendidikan, evaluasi proses sangat baik untuk dilaksanakan. Untuk melakukan evaluasi pembelajaran bahasa secara baik, Indikator memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Perbuatan atau responsi yang dapat dilakukan siswa untuk menunjukkan bahwa siswa telah memiliki kompetensi dasar tertentu.
• Rincian hasil belajar yang lebih spesifik.
• Dikembangkan berdasarkan materi pembelajaran dan kompetensi dasar.
• Dirumuskan dengan kata kerja operasional.
• Petunjuk pencapaian kompetensi dasar.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjabarkan kompetensi dasar menjadi beberapa indikator adalah dengan terlebih dulu mempelajari kompetensi. Penjabaran indikator harus berfokus pada kompetensi apa yang akan dimiliki siswa setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran. Setelah itu lakukan kegiatan berikut ini:
1. Tentukan berapa lama kompetensi tersebut akan dicapai serta seberapa jauh tingkat kemampuan yang ingin dicapai.
2. Keselarasan antara kompetensi dasar dan indikator perlu diutamakan dalam penjabaran ini.
3. Penyusunan indikator diawali dari indikator yang sederhana ke indikator yang lebih sulit.
4. Perbuatan atau tindakan yang dijabarkan pada indikator harus jelas terukur. Pernyataan indikator harus konkret.
D. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator kemampuan telah tersedia di dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia berbasis kompetensi baik di SD, SMP maupun SMA. Namun, sebaiknya guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mengetahui bahkan mampu mengembangkan indikator-indikator kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia sendiri. Kemampuan para guru ini menjadi modal untuk menyusun model pembelajaran atau mengembangkan desain pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan baik.
Hal yang penting di dalam model pembelajaran adalah pengalaman belajar yaitu kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan siswa di dalam proses belajar mengajar dalam rangka mencapai kompetensi atau indikator-indikator kemampuan siswa. Pengalaman belajar dikembangkan berdasarkan indikator-indikator tersebut. Melalui indikator dan pengalaman belajar yang akan dilakukan siswa itulah model pembelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan. Jika guru ingin memiliki persiapan mengajar yang lebih rinci, guru dapat menyusun desain pembelajaran Bahasa Indonesia dengan mengacu pada model pembelajaran tersebut.

E. Metode yang Sesuai dengan Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia
1. Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia Keterampilan Mendengar
Belajar berbahasa dimulai dengan mendengarkan, coba perhatikan bagaimana anak kecil belajar bahasa ibunya. Mula-mula yang bersangkutan banyak mendengar rangkaian bunyi bahasa. Bunyi bahasa itu dikaitkan dengan makna. Setelah banyak mendengarkan ia mulai meniru ucapan-ucapan yang pernah didengarnya dan kemudian mencoba menerapkannya dalam pembicaraan. Proses mendengarkan, mengartikan makna, dan mempraktekkan bunyi bahasa itu dilakukannya berulang-ulang sampai akhirnya yang bersangkutan lancar berbicara. Melalui proses mendengarkan, orang dapat menguasai pengucapan fonem, kosakata, dan kalimat. Pemahaman terhadap fonem, kata, dan kalimat ini sangat membantu yang bersangkutan dalam kegiatan berbicara, membaca, dan menulis. Petunjuk-petunjuk dalam belajar berbicara, membaca, atau menulis selalu disampaikan melalui bahasa lisan. Ini berarti bahwa keterampilan mendengarkan memang benar-benar menunjang keterampilan berbicara, membaca, dan menulis.
Berdasarkan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia di SD untuk materi pembelajaran mendengarkan siswa diharapkan mampu: mendengarkan dongeng, wacana lisan tentang deskripsi benda, teks pendek, puisi anak lisan, pesan pendek, cerita anak, cerita teks drama, petunjuk denah, pengumuman, pembacaan pantun, narasumber, cerita rakyat, cerpen anak, dan berita (Permendiknas No. 22 th. 2006 tentang Standar Isi, 319-330).
Guru bahasa Indonesia harus berupaya agar pengajaran mendengarkan disenangi oleh siswa. Hal ini dapat terlaksana apabila guru benar-benar menguasai materi dan cara atau metode pengajaran mendengarkan. Khusus dalam metode pengajaran mendengarkan tersebut guru harus mengenal, memahami, menghayati, serta dapat mempraktikkan berbagai cara pengajaran mendengarkan.
Metode pengajaran mendengarkan yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia antara lain metode Audiolingual, metode Komunikatif dan metode Integratif. Dari metode di atas ada beberapa teknik pembelajaran mendengarkan yang dapat diterapkan, seperti mendengarkan cerita, mendengarkan berantai, dan sebagainya.
2. Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia Keterampilan Berbicara
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara. Dialog dalam lingkungan keluarga antara anak dan orang tua, antara ayah dan ibu antara anak-anak, menuntut keterampilan berbicara. Di luar lingkungan keluarga juga terjadi percakapan, diskusi, di antara teman dengan teman, tetangga dengan tetangga, kawan sepermainan, rekan sekerja, teman satu sekolah, dan sebagainya.
Dari semua situasi di atas dituntut keterampilan berbicara setiap individu yang ikut berpartisipasi. Sebagai anggota masyarakat setiap individu dituntut terampil berkomunikasi. Terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide, perasaan, dan pikiran. Juga individu itu terampil pula menangkap informasi yang diterimanya. Kesimpulannya setiap individu harus terampil menyampaikan informasi dan terampil pula menerima informasi.
Berdasarkan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia untuk materi pembelajaran berbicara siswa diharapkan mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan dengan: perkenalan, tegur sapa, pengenalan benda, fungsi anggota tubuh, deklamasi, gambar, percakapan sederhana, dongeng, kegiatan bertanya, bercerita, mendeskripsikan benda, memberikan tanggapan atau saran, bertelepon, mendeskripsikan secara lisan tempat sesuai denah, petunjuk penggunaan suatu alat, berbalas pantun, menceritakan hasil pengamatan, berwawancara, diskusi, bermain drama, berpidato, melaporkan isi buku, dan membaca puisi.
Pengajaran berbicara harus dilaksanakan sebaik-baiknya melalui materi pokok yang ada. Karena itu guru bahasa Indonesia harus mengenal, mengetahui, menghayati dan dapat menerapkan berbagai metode, teknik atau cara mengajarkan keterampilan berbicara, sehingga pengajaran berbicara menarik, merangsang, bervariasi, dan menimbulkan minat belajar berbicara bagi siswa. Metode pengajaran berbicara yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di SD antara lain:
• Metode Audiolingual
• Metode Produktif
• Metode Langsung
• Metode Komunikatif
• Metode Integratif
• Metode Partisipatori
Dari metode di atas ada beberapa teknik pembelajaran berbicara yang dapat diterapkan, seperti bermain peran, cerita berangkai, dan sebagainya.
3. Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia Keterampilan Membaca
Pengembangan keterampilan membaca pertama-tama dibebankan kepada guru bahasa Indonesia. Melalui pengajaran bahasa Indonesia, guru harus mengarahkan siswanya agar dapat:
• membaca atau melek huruf
• memahami pengertian dan peranan membaca
• memahami teori dasar membaca
• memiliki minat baca
• memiliki keterampilan membaca
Berdasarkan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia untuk materi pembelajaran membaca siswa diharapkan mampu: memahami teks dengan membaca nyaring, membaca lancar, membaca puisi anak, membaca dalam hati, membaca intensif, membaca dongeng, memahami teks dengan membaca intensif (150-200 kata), membaca puisi, memahami teks agak panjang (150-200 kata), petunjuk pemakaian, makna kata dalam kamus/ensiklopedi, membaca pantun, membaca teks percakapan, membaca cepat 75 kata/menit, membaca sekilas, membaca memindai, membaca cerita anak, dan membaca teks drama (Permendiknas No. 22 th. 2006 tentang Standar Isi, 319-330).
Guru harus berupaya agar pengajaran membaca disukai oleh siswa. Hal ini dapat terlaksana apabila guru telah menguasai materi dan cara penyampaian materi. Dalam segi penyampaian materi guru harus sudah mengenal, memahami, menghayati, dan dapat menerapkan berbagai metode pengajaran membaca. Metode pengajaran membaca yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia antara lain:
• Metode Membaca
• Metode Komunikatif
• Metode Integratif
• Metode Tematik
• Metode Kuantum
• Metode Partisipatori
Dari metode di atas ada beberapa teknik pembelajaran membaca yang dapat diterapkan, seperti mengubah bacaan ke dalam gambar, membaca bergantian dan sebagainya.
4. Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia Keterampilan Menulis
Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan menulis paling kecil bila dibandingkan dengan kegiatan menyimak, berbicara, atau membaca. Urutan anak-anak yang belajar berbahasa selalu mulai menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam literatur pengajaran bahasa pun urutan keempat keterampilan selalu ditulis menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Walaupun posisi menulis selalu di belakang tidak berarti peranan menulis juga di belakang atau kecil. Berbagai aktivitas orang terpelajar menunjukkan bahwa peranan menulis cukup penting dalam kehidupan manusia modern. Di sekolah pihak yang paling berkompeten menumbuhkan keterampilan menulis itu adalah guru bahasa Indonesia. Mereka harus melatih anak didiknya agar terampil menulis. Lebih-lebih guru bahasa Indonesia harus dapat menumbuhkan keterampilan menulis ini pada setiap siswa.
Berdasarkan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia untuk materi pembelajaran menulis siswa diharapkan mampu: menulis permulaan dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi. Menyalin huruf tegak bersambung melalui kegiatan dikte. Menyalin melalui kegiatan melengkapi cerita dan dikte. Mendeskripsikan benda di sekitar dan menyalin puisi anak. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk paragraf dan puisi dalam karangan sederhana dan puisi. Menulis dalam bentuk percakapan, petunjuk, cerita, dan surat. Menulis pengalaman secara tertulis dalam bentuk karangan, surat undangan, dan dialog tertulis bentuk ringkasan, laporan, dan puisi bebas informasi secara tertulis dalam bentuk formulir, ringkasan, dialog, dan parafrase naskah pidato dan surat resmi (Permendiknas No. 22 th. 2006 tentang Standar Isi, 319-330).
Guru harus berupaya agar pengajaran menulis disukai oleh siswa. Hal ini dapat terlaksana apabila guru telah menguasai materi dan cara penyampaian materi. Dalam segi penyampaian materi guru harus sudah mengenal, memahami, menghayati, dan dapat menerapkan berbagai metode pengajaran menulis. Metode pengajaran menulis yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia antara lain:
• Metode Produktif
• Metode Komunikatif
• Metode Integratif
• Metode Tematik
• Metode Kuantum
• Metode Partisipatori
• Metode Konstruktif.
Dari metode di atas ada beberapa teknik pembelajaran berbicara yang dapat diterapkan, seperti menulis dari gambar, menulis Objek langsung dan sebagainya.